Bercermin dari pembangunan PLTN terbaru di negara maju, seperti di Finlandia dan Perancis, pemerintah Indonesia mengklaim bahwa energi murah bisa dihasilkan dari PLTN dengan biaya 1.500 USD/kW. Namun klaim pemerintah tadi sangat wajar untuk diragukan. Berdasarkan riset literature, disebutkan bahwa di Finlandia, misalnya, pembangunan PLTN Olkiluoto sejak tahun 2005 telah dihentikan dalam 3 tahun terakhir akibat pembengkakan biaya konstruksi. Semula biaya pembangunan diperkirakan mencapai 4 miliar USD, ternyata pada saat pelaksanaannya dibutuhkan tambahan dana sebesar 2,3 miliar USD. Berdasarkan kasus di atas, lembaga keuangan terkemuka AS, Moody's, memperkirakan biaya energi dari PLTN sebesar 7.500 USD/kW.
Selain membutuhkan dana konstruksi yang besar, persoalan lain yang kerap muncul dari PLTN adalah limbah radioaktif. Meski telah menghabiskan dana penelitian triliunan rupiah, hingga saat ini belum ada negara yang mempunyai metode pembuangan limbah radioaktif yang aman. Belum lagi faktor bahaya radiasi dari reaktor tersebut terhadap masyarakat. Sebuah penelitian resmi pemerintah Jerman menunjukkan, dalam keadaan normal, tingkat kanker dan leukemia pada balita yang tinggal di sekitar PLTN Jerman sangat menonjol, yaitu mengalami peningkatan cukup signifikan dari 54% menjadi 74%. Tentu saja, hal itu belum memperhitungkan bila terjadi kecelakaan nuklir seperti yang pernah dialami AS dan Soviet.
Dan jika dikaitkan dengan situasi global saat ini, persoalan perubahan iklim yang mengancam keberlangsungan kehidupan di bumi akibat pelepasan gas rumah kaca (GRK), nuklir juga tidak mampu memberikan kontribusi berarti terhadap pengurangan emisi tersebut. Meski kapasitas reaktor nuklir ditingkatkan empat kali lipat (dari 2.600 TWh/tahun menjadi 9.900 TWh/tahun di tahun 2050), emisi GRK tereduksi hanya akan berkurang 6%. Padahal untuk mencapai kapasitas itu pun nyaris mustahil, karena itu berarti, sejak saat ini hingga tahun 2050 harus dibangun 32 PLTN berkapasitas 1.000 MW per tahun! Bandingkan dengan AS yang saat ini “hanya” memiliki 103 PLTN.
KEDAULATAN ENERGI
Berpaling ke nuklir jelaslah bukan jawaban bagi persoalan energi Indonesia. Sebaliknya, ia justru merupakan ancaman baru dalam membangun kedaulatan energi. Indonesia akan semakin mengalami ketergantungan dengan lingkar kapitalisme global di mana teknologi, sumber pembiayaan (utang luar negeri) dan bahan baku energi sepenuhnya dikendalikan oleh pihak asing. Pada saat yang sama, sumber energi Indonesia terus terkuras tanpa bisa dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat.
Pemerintah Indonesia jelas keliru jika betul-betul memilih nuklir sebagai sumber energi. Patut diingat bahwa ke-439 reaktor nuklir komersial yang saat ini beroperasi diseluruh dunia, hanya mampu memenuhi kebutuhan listrik dunia sebesar 15%. Apabila jadi di bangun di Indonesia, penggunaan energi nuklir pun hanya akan menggantikan 2% penggunaan energi lainnya. Tentu saja hal ini tidak sebanding dengan biaya dan ancaman (resiko) dari pembangunan PLTN tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar